HAKEKAT LATIHAN

HAKEKAT LATIHAN



Latihan merupakan suatu proses yang dilakukan secara teratur guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan utama latihan dalam olahraga prestasi adalah untuk mengembangkan kemampuan biomotorik ke standart yang paling tinggi, atau dalam arti fisiologis atlet berusaha mencapai tujuan perbaikan sistem organisme dan fungsinya untuk mengoptimalkan prestasi atau penampilan olahraganya.
Berkaitan dengan latihan Suharno HP. (1993: 1) dalam seri bahan penataran pelatih tingkat muda/madya dikatakan, “Berlatih atau latihan ialah suatu proses penyempurnaan kualitas atlet secara sadar untuk mencapai prestasi maksimal dengan diberi beban latihan fisik dan mental secara teratur, terarah, bertahap, meningkat, berkesinambungan dan berulang-ulang waktunya”. Menurut Sudjarwo (1993: 14) bahwa, “Latihan adalah suatu proses yang sistematis secara berulang-ulang, secara ajeg dengan selalu memberikan peningkatan beban latihan”.
Hal senada dikemukakan Andi Suhendro (1999: 3.4) berpendapat, “Latihan (training) merupakan proses kerja yang sistematis dan dilakukan secara berulang-ulang dengan beban latihan yang makin meningkat”. Pengertian latihan yang dikemukakan tiga ahli tersebut pada prinsipnya mempunyai pengertian yang hampir sama, sehingga dapat disimpulkan bahwa, latihan (training) merupakan proses kerja atau berlatih yang sistematis dan kontinyu, dilakukan secara berulang-ulang dengan beban latihan yang semakin meningkat.
Latihan yang sistematis adalah program latihan direncanakan secara matang, dilaksanakan sesuai jadwal menurut pola yang telah ditetapkan, dan evaluasi sesuai dengan alat yang benar. Penyajian materi harus dilakukan dari materi yang paling mudah ke arah materi yang paling sukar, dari materi yang sederhana mengarah kepada materi yang paling kompleks. Latihan harus dilakukan secara berulang-ulang, maksudnya latihan harus dilakukan menimal tiga kali dalam seminggu. Dengan pengulangan ini diharapkan gerakan yang pada saat awal latihan dirasakan sukar dilakukan, pada tahap-tahap berikutnya akan menjadi lebih mudah dilakukan.
Beban latihan harus meningkat maksudnya, penambahan jumlah beban latihan harus dilakukan secara periodik, sesuai dengan prinsip-prinsip latihan, dan tidak harus dilakukan pada stiap kali latihan, namun tambahan beban harus segara dilakukan ketika atlet merasakan latihan yang dilaksanakan terasa ringan.
Semoga Bermamfaat, Shukran Jazakallah Khairan@
         
Read More
BUKU AJAR ILMU KEPELATIHAN

BUKU AJAR ILMU KEPELATIHAN



BAB I  PENDAHULUAN
Olahraga merupakan penambapakan aktivitas fisik (jasmani) yang melibatkan proses internal diri sebagai individu manusia. Dimaksudkan dengan internal diri disini adalah keterlibatan rohani sebagai suatu kesatuan dari manusia yang terdiri dari jasmani dan rohani.jadi, pada dasarnya aktifitas olahraga adalah aktivitas jasmani dan rohani. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa olahraga merupakan aktivitas dalam upaya membentuk dan mengembangkan raga (jasmani-rohani) menuju optimalisasi potensi diri.
Manusia ditinjau dari aspek jasmani terdiri dari anggota tubuh dan organ-organ  (fisiologi).sedangkan dari aspek rohani menyangkut piker dan mental kejiawaan (psikologi-kerohanian). Pemahaman tentang konsep manusia ini akan menjadi landasan dalam melakukan aktivitas olahraga, baik yang bertujuan untuk kebugaran jasmani terlebih lagi untuk tujuan olahraga prestasi.olaeh karena itu, berbagai kajian seputar manusia akan melandasi pembahasan dan pengkajian secara ilmiah tentang keolahragaan.misalnya, seperti dikemukanan oleh Pate dkk (1984) bahwa terdapat 3 disiplin keilmuan yang mendasai pelatihan olahraga yaitu (1) psikologi olahraga (2) biomekanika(3) fisologi Olahraga. Selanjutnya, diuraikan Bompa (1990) bahwa ilmu yang mendukung teori dan metode pelatihan olahraga adalah (1) anatomi (2) fisiologi (3) biomekanika (4) statistic (5) tes dan pengukuran (6) Kedokteran olahraga (7) psikologi (8) belajra Gerak (9) pedagogi (10) Nutrisi (11) sejarah (12) sosiologi.
Optimalisais potensi diri yang paling utama dalam beolahraga adalah untuk memperoleh derajat kesehatan yang baik-baiknya yang seimbang antara jasmani dan rohani. Berlandandaskan sehat ini akan lebih mudah mengembangkan minat dan bakat olahraga kearah prestasi yang tinggi. Makin tinggi tuntutan prestasi maka makin tinggi pula tuntutan sehat, karena tidak mungkin berprestasi tanpa kesehatan yang prima. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa prestasi olahraga merupakan produk berikutnya dari sehat dalam upaya optimalisasi potensi diri manusia.melalui pemahaman ini dapat dikatakan bahwa aktivitas olahraga merupakan kegiatan yang dapat membentuk watak atau kepribadian bangsa.
Olahraga dalam mengoptimalkan potensi jasmani
Potensi jasmani dimaksud dalam tulisan ini adalah menyangkut pertumbuhan dan perkembangan kemampuan jasmani sesuai dengan fungsi alamiahnya, yakni ditinjau dari aspek jasmani itu sendiri baik struktur tubuh dan geraknya maupun fungsi oragannya (anatomi-biomekanika-fisiologi). Tumbuh dan kembang harus seimbang dan selaras untuk mendapatkan jasmani yang baik. Pertumbuhan lebih dititikberatkan pada fungsi gerak dan struktur dan organ tubuh yang semakin baik dan matang. Oleh karena itu, pertumbuhan terjadi terutama tergantung pada hormone pertumbuhan yakni sampai fase remaja (struktur) sedang perkembangan terus sampai dewasa (kematangan struktur dan fungsi organ tubuh).
Potensi jasmani dimaksudkan dalam kaitannya dengan olahraga adalah optimalnya kerja struktur (anggota (tubuh) dan fungsi organ tubuh. Semua anggota tubuh berkemampuan melakukan gerakan secara optimal sesuai dengan kemungkinan geraknya (pronsip anatomi-biomekanika). Untuk mencapai semua itu, maka gerak dasar tubuh harus dilakukan sejak dini secara terus menerus dengan baik dan benar. Menurut penulis inilah hakekat dari multilateral sebagai fundasinya pembinaan olahraga prestasi yang dalam program jangka panjang memerlukan waktu pembinaan sampai 4 tahun sebelum mamasuki tahapan pembinaan (3 tahun) dan pemantapan prestasi (3 tahun) sampai pada prestasi puncak (usia emas).
Sedemikian besarnya peran multilateral dalam pembinaan olahraga prestasi namun implementasinya dilapangan justru belum dipahami secara benar sehingga terkesan diabaikan. Kepelatihan terlalu cepat memasuki tahapan pembinaan spesialisasi cabang olahraga sementara fundasinya belum terbentuk dengan baik dan benar. Akibatnya, dasar gerak dan gerak dasar cabang olahraga belum dikuasai secara benar sehingga prrestasi sulit ditingkatkan.ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan tahapan pembinaan multilateral tidak dilaksanakan secara benar, yaitu antara lain kurangnnya pengetahuan secara teori maupun praktik tentang multilateral dan perannya dalam olahraga prestasi dan sikap tidak sabaran akan cepat menghasilkan prestasi, dua hal ini nampaknya punya andil besar dalam kemajuan olahraga prestasi di Indonesia dalam implementasi kepelatihan dilapangan karena menyangkut fundasi prestasi.
Multilateral pada hakekatnya adalah gerak dasar tubuh yang merupakan dasar gerakn dari cabang olahrga dan olehkarena itu, maka multilateral harus dilakukan sedini mungkin (sejak usia dini) dan bahkan tetap masih dilakukan meskipun atlet sudah berada pada tahapan puncak prestasi.

Gambar 1. Rasio antara pengembangan multilateral dengan pembinaan spesialisasi.
                   (dikutip dari Bompa, 1990:33)
              Dari gambar 1 terlihat rasio antara pengembangan multilateral dan pembinaan spesialisasi Pretasi multilateral lebih tinggi pada usia dini dan semakin kurang pembinaanya pada usia puncak prestasi. Sementara spesialisasi seemakin besar porsi pembinaannya menuju usia puncak prestasi. Adapun ditinjau dari fase pelatihan, maka multilateral menjadi fundasi dari speseialisasi dan kenerja puncak seperti terlihat pada gambar 2.
Gambar 2. Fase utama pelatihan (Bompa, 1990:31)
Gambar 2 menujukkan bahwa fase pengembangan multilateral merupakan dasar atau fundasi dari proses pembinaan olahraga prestasi. Artinya, tanpa multilateral yang terbina dengan baik dan benar tidak akan dapat pengembangan dan membentuk kebutuhan karakteristik spesialisasi cabang olahraga bersangkutan secara sempurna untuk menuju kinerja puncak prestasi.
Uraikan di atas telah menunjukkan kepada kita bahwa olahraga yang dilakukan dengan benar akan dapat membentuk tubuh dengan baik dan berungsi secara optimal selaras dengan pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Oleh karena itu, berolahraga harus dilakukan secara terus menerus agar tubuh dapat berfungsi secar optimal dan tidak mengalami penurunan kemampuan yang seharusnya bisa dicegah dengan aktivitas olahraga. Inilah hakekat olahraga, untuk kesehatan dan dari dasar sehat ditingkatkan menuju pembinaan olahraga prestasi.
Olahraga dalam upaya mengoptimalkan potensi rohani
Di atas telah dikatakan bahwa olahraga merupakan aktivitasjasmani dalam upaya mementuk dan mengembangkan raga (jasmani-rohani) menuju optimalisasi potensi diri. Melalui penampakan aktivitas jasmani, olahraga juga harus dipahami sebagai aktivitas dalam mengembangkan potensi rohani. Potensi rohani yang paling mendasar adalah tentang ketuhanan. Rohani (roh) identik dengan kehidupan. Oleh karena roh itulah manusia (jasmani) hidup. Dengan hidup itulah manusia berolahrga. Apakah sebenarnya roh itu ?
Roh adalah suatu ynag diyakini berasal langsung dari Allah Yang Maha Kuasa, Sang pencipta alam semesta termasuk di dalamnya tentang penciptaan manusia. Sebagaimana telah difirmankan-Nya bahwa Tidak akan Aku (Allah) jadikan jin dan manusia melaikan untuk taat beribadah dan mengabdi hanya kepada Allah. Oleh karena itu, seharusnya tugas pertama dan utama seorang manusia adalah mengabdi kepada Allah yang telah menciptakan dirinya sehingga ada dipermukaan bumi ini. Jadi, potensi kerohaniaan merupakan aktivitas manusia dalam mendekatkan dirinya dengan sang pencipta, Allah Subhanahuwataala.
Terlihat dengan sangat jelas bahwa manusia berolahraga adalah untuk mendapatkan jasmani yang berfungsi secara sempurna sesuai denga kodratnya yakni seluruh anggota tubuhnya mampu bergerak dan difungsikan secara optimal. Inilah fungsinya berlatih agar potensi tubuh dapat terus ditingkatkan dan diperbaiki sehingga mencapai kemampuan gerak dan kerja tubuh yang optimal Aktivitas jasmani ini merupakan sarana penghambaan diri kepada Allah karena keyakinan bahwa apa yang dilakukan adalah dengan kekuatan dan kekuasaan Allah yang telah menciptakan roh manusia. Pemahaman dan kesadaran akan kemampuan melakukan aktivitas adalah dari kekuatan dan kekuasaan Allah muncil apabila manusia tidak sombong dengan dirinya sendiri dan bisa merasakan adanya roh dalam kemanusiaannya.
Manusia dengan seluruh anggota tubuhnya bergerak dan berfunggsi karena hidup. Manusia hidup karena adanya roh dari Allah. Jadi pada dasarnya manusia itu sangat dekatt dengan Allah bahka telah difirmankan-Nya kalau Allah itu lebih dekat dengan manusia dari pada urat nadinya sendiri. Kesadaran dan merasakan akan hal ini merupakan bimbingan dan kendali diri manusia dalam beraktivitas sehingga secara alami baik jasmani maupun rohani akan selalu dalam balutan kekuatan dan kekuasaan Allah. Mungkinkah orang yang takluk dalam kekuasaan Allah akan berbuat yang tidak baik apalagi yang dilarang agama Allah ? Adakah orang seperti itu ynag akan berbuat kerusakan dimuka bumi ini ?
Jadi, berolahraga tidak hanya terbatas pada aktivitas untuk berprestasi saja, tetapi lebih dari itu bahwa berolahraga adalah untuk sehat jasmani dan rohani sebagai sarana membenuk manusia yang berkepribadian dan berwatak atau berkarakter baik berlandaskan pemahaman keagamaan yang benar untuk menciptakan kesejahteraan dunia dan kahirat. Dengan demikian, olehra maupun membangkitkan dan mengarahkan potensi jasmani dan rohani manusia secara optimal dengan baik dan benar dalam upaya mengabdikan diri hanya Sang Pencipta Allah SWT.

BAB II
TEORI KEPELATIHAN OLAHRAGA

Sasaran
Bab ini menguraikan tentang sistem pelatihan olaahraga meliputi hakikat pelatihan, prinsip-prinsip pelatiha, pelatih, dan atlit. Oleh akrena itu, selesai mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan memahami tentang teori kepelatihan danmelaksanakan praktik kerja lapangan untuk melakukan observasi terhadap kerja pelatih pada klub olahraga yang ada didaerah kabupaten/kota.

1.        Hakikat Pelatihan Olahrga
Pelatihan (training) menurut Harre (1982) adalah keseluruhan proses sistematis dari persiapan atltit untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi dalam kinerja olahraga. Pate (1984) mendefinisikan pelatihan sebagai suatau keikutsertaan secara sistematis dalam kegiatan pelatihan dengan tujuan untuk menigkatkan kapasitas fungsional fisik dan toleransinya terhadap pelatihan. Sedang menurut Bompa (1990) pelatihan adalah aktivitas olahraga yang dilakukan secara sistematis dalam jangka waktu yang lama dan bebannya ditingkatkan secara prograsif sesuai masing-masing individu dengan tujuan untuk membentuk dan mengembangkan fungis fisiologis dalam menghadapi tuntutan tugasnya sebagai seorang atlit.
Mencermati berbagai definisi pelatihan, maka pada dasrnya pelatihan merupakan proses persiapan atlit untuk mencapai kinerja olehraga yang lebih tinggi (juara). Proses ini memerlukan waktu sehingga dalam program pelatihan dapat dibagi atas program jangka panjang, menengah, dan pendek. Berdasarkan pengamatan terhadap para juara dapat disimpulkan bahwa pelatihan untuk dapat menghasilkan juara memerlukan waktu sampai 10 tahun dan rerata usia juara sekarang relativ bertambah muda. Ini menunjukan bahwa pelatihan harus dimulai sejak usia dini. Jika pada sat juara seseorang berusia 20 tahun, maka diperkirakan mulai berlatihnya sekitar usia 8-10 tahun. Usia permulaan berlatih ini bisa saja berbeda karena tergantung dari cabang olahraganya, misal cabang olahraga yang memerlukan kerumitan gerak seperti senam atau loncat indah diperlukan usia yang lebih muda lagi sementara cabang olahrga yang dominat kekuatanatau power justru jangan terlalu muda karena dikhawatirkan kalau salah proses pelatinhannya akan menyebabkan gangguan pertumbuhan.
Proses pelatihan sampai lahirnya sang juara selain memerlukan waktu yang lama maka ynag paling penting adalah kemampuan pelatih untuk mengoptimalkan potensi atlit baik jasmani maupun rohani. Selama proses ini perlu diperhatikan keseimbangan antara pelatihan dengan pertumbuhan dan perkembangan antara pelatihan dengan pertumbuhan dan perkembangan jasmani-rohani atlit. Jadi, pelatihan pada dasarnnya adalah upaya mengembangkan potensi atlit baik jasmani maupun rohani berdasarkan hakikat kemanusiaan.
2.      Prinsip pelatihan olahrara
Teori dan metodologi pelatihan sebagai suatu unit tertentu dari pendidikan jasmani dan olehrga mempunyai prinsip-prinsip khusus yang didasarkan pada bologi, psikologi dan pedagogi. Pelaksanaan secara tepat prinsip-prinsip ini akan membuat pelatihan menjadi efektif dan efesien dalam upaya pencapaian sasaran pelatihan.
Menurut Pyke dan Woodman (1991) ada 5 prinsip dasar dalam pelatihan olahrga, yaitu :
a. Prinsip beban lebih
Sebelum terjadi peningkatan kesegaran, maka beban pelatihan harus diberikan melebihi beban sehari-hari yang dapat diatasi. Atltit harus diberikan rangsangan pelatihan yang dapat menyebabkan kelelahan, tetapi tubuh masih dapat mengatasinya. Selanjutnya, proses pelatihan elibatkan adaptasi terhadap dari kapasitas ini diulang-ulang serta bebannya ditingkatkan secara prograsif sehingga atlit menjadi terbiasa. Yang menjadi masalah adalah bagaimana menentukan jumlah beban lebih yang benar untuk diterapkan sebagai rangsangan pelatihan. Untuk itu harus diperhatikan:
-       Kelelahan yang kronik tidak akan dapat memperbaiki kinerja, karenayan diperlukan hari pelatihan berat ynag diselingi dengan perlatihan ringan
-       Standar tingkat kebugaran yang harus dicapai
-       Kapasitas kebugaran yang dikembangkan harus digunakan dalam olahraga yang dilakukan.
Pola respon dari efek kelelahan diuraikan dalam General Adaptation Syndrome (GAS) GAS menggambarkan keseluruhan respon tubuh terhadap setiap tipe implikasi dari prinsip beban lebih yang diterapkan terhadap tahanan dihubungkan dengan pengulangan pelatihan adalah
-       Pelatihan harus dilakukan perlahan dan ditingkatkan secara bertahap
-       Stress pelatihan harus berirama, yaitu adanya eriode pelatihan berat dan ringan
-       Hindari pencapaian tingkat pelatihan yang sangat melelahkan
-       Stress pelatihan (volome dan intensitas) harus dinaikan dalam siklus mikro
-       24-48 jam untuk pulih asal harus diberikan antara pelatihan berat
-       Pelatih harus menyadari adanya efek stress emosi, keadaan gizi, kurang tidur  dan keadaan iklim bila ingin mengmbengkan rencana pelatihan

b. Prinsip pulih asal
Prinsip pulih asal berhubungan dengan beban lebih. Jika oulih asal tidak cukup, maka beban pelatihan tidak akan dapat ditoleransi. Makanan sangat penting dalam proses pulih asal. Protein penting untuk sintesis jaringan yang berhubungan dengan pelatihankekuatan dan program pembentukan otot. Kecepatan sintesis glikogen otot tergantung dari tingginya tingkat karbohidrat kompleks dalam makanan. Proses pulih asal juga meliputi pergantian kelompok otot yang bekerja, misalnya pelatihan releksasi, restorasi artifical melalui pijat, mandi suasana serta penguatan prositif terhadap mental
c. Prinsip reversibilitas (kesirnaan)
Jika seorangtidak berlatih atau jika berhenti dari program pelatihan, maka tubuh akan kembali ketingkat awal kebugaran. Ini harus dipahami terutama jika istirahat akibat sakit atau cedera, misalnya 3 minggu istirahat total akan menurunkan VO2 max sebesar 25%. Oleh karena itu, selama fase transisi atlit harus tetap berlatih atau aktif meskipin dalam bentuk olahraga lainnya.
d. Prinsip kekhususan
Prinsip ini menyatakan bahwa keuntungan maksimum dari rangsangan pelatihan hanya dapat dicapai bila replikasi gerakan dari system energi yang terlibat sesuai dengan cabang olahraga yang bersangkutan. Juga meliputi kekhususan kelompok otot dan serabut-serabut.
e. Prinsip individu
Berbagai faktor yang harus diperhatikan adalah
-            Toleransi terhadap perlatihan, respon seseorang terhadap perlatihan berbeda dan toleransi yang baik tidak menjamin kinerja yang lebih baik.
-            Respon terhadap perlatihan, kapasitas untuk merespon terhadap pelatihan berhubungan dengan tingkat awal kebugran dan karakteritik fisiologis
-            Pulih asal dari perlatihan dan kompetensi, ada yang lama dan ada yang singkat
-            Kebutuhan perlatihan, masing-masing tergantung dari kekuatan dan kelembahan profil fisik atlet
-            Kesenangan dalam perlatihan
-            Makanan kesenangan
-            Toleransi terhadap lingkungan, misalnya orang gemuk lebih tahan terhadap dingin
-            Karakteristik fisik
-            Gaya hidup, misalnya pelajaran, pekerja dll
-            Sosialisasi dalam kelompok

3.      Pelatih
Tugas utama seorang pelatih adalah membantu atlet dalam proses mencapai kinerja tertinggi (juara). Pengertian membantu disini mulai pembibitan, pemanduan bakat dan pembinaan sampai mencapai kinerja tertinggi (=suatu proses). Mencermati tugas demikian, maka seorang pelatih harus memahami dan menguasai ilmu kepelatihan dan seni melatih. Karena itu, pelatih hendaknya dipandang terkala berhasil membawa atlet menjadi juara tapi dibenci dan dicemoh manakala gagal.
Gaya pelatih
Ada berapa gaya kepelatihan yang sering muncul dalam proses perlatihan yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
a. Authuritarian coach
-            Komando
-            Keras, disiplin
-            Sering memberi hukuman
-            Sprint tim yang baik jika menang dan disensi jika kalah
-            Memiliki kepribadian untuk mengatasi hambatan
            b. Business-like coach
-            Tidak beroreintasi pada atlet
-            Oreintasi pada tugas
-            Setiap tugasdikerjakan sungguh
            c. Nice Guy Coach
-             Atlet sering mengambil keuntungan dari sikap pelatih yang akrab, mudah bekerja sama
-             Atlet harus bisa disiplin diri sendiri
d. Easy going coach
-            Kasual atau submisif
-            Memberikan impresi tidak begitu serius
Gaya kepelatihan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Oleh karena itu, biasanya pelatih yang baik tidak hanya menggunakan satu gaya kepelatihan saja melainkan berbagai gaya yang disesuaikan untuk mencapai tujuan.
Keterampilan pelatih
Seorang pelatih harus memiliki beberapa keterampilan dasar agar nanti bisa berfungsi secara efektif yaitu pengetahuan olahraga dan pemahaman tentang berbagai teknik kepelatihan.
e. Organisasi
Ini didasarkan pada pengetahuan dan perencanaan. Pengetahuan didasarkan pada pengalaman, penelitian, dan kursus-kursus khusus olahraga
f. Observasi
Program pelatihan harus memuat banyak waktu untuk dapat diobservasi. Ini meberikan informasi pada pelatih sebagai dasar perubahan terhadap program dan apa yang diperlukan masing-masing atlet. Keterampilan informasi akan dapat diperbaiki dan dihaluskan kembali.
g. Analisis
Observasi dan evaluasi kinerja. Bandingkan apa yang sudah dikerjakan dengan apa yang seharusnya dikerjakan. Perhatikan setiap kinerja. Jangan bergerak hanya pada satu atau dua observasi, tentukan penyebabnya secara hati-hati sebelum menawarkan suatu nasihat. Seandainya nasehatnya tidak benar atau tidak efektif, maka akan mengurangi kresibelitas sebagai seorang pelatih. Jika terdapat lebih dari satu kesalahan akan dapat menghasilkan perbaikan yang lebih besar dan seandainya kesalahannya saling terkait, putuskan mana yang harus dieliminasi lebih dahulu.
h. Meperbaiki kinerja
Memperbaiki, menyempurnakan dan selanjutnya meningkatkan kinerja atlet adalah merupakan tugas utama seorang pelatih. Oleh karena itu, seorang pelatih harus memilliki kemampuan untuk melihat dan mepresdeksi kinerja atletnya. Kemampuan ini harus tertuang dalam program pelatihan yang disusun secara benar, karena setiap apa yang akan dilakukan selalu didasarkan atas tujuan dan ini memperjelas serta merupakan pedoman bagi seorang pelatih dalam kmenjelaskan tugasnya.
i. Komunikasi
Kemampuan pelatih untuk memperbaiki kinerja tergantung pada besarnya derajat keterampilan berkomunikasi. Komunikasi ini tidak hanya verbal tetapi juga non verbal seperti penggunaan bahasa tubuh. Dalam komonikasi ini harus diperhatikan tentang isi dan suasana emosinya agar apa yang ingin disampaikan bisa diterima oleh atlet. Kesederhanaan bahasa, kejelasan konsep yang akan disampaikan ditunjang seuasana yang menyenangkan akan membantu kelancaran komunikasi.
4.      Atlit
Kapasitas atlit untuk kinerja olahraga pada struktur fisik dan perkembangan tubuhnya sejak anak-anak sampai dewasa. Oleh karena itu salah satu faktor penentu pencapaian prestasi puncak adalah keturunan dan bakat. Dalam hal inilah strutur anatomi dan kemampuan fungsi organ tubuh melakukan aktivitas olahraga berkontraksi terhadap prestasi. Selain bakat, faktor motivasi atlit untuk menekuni cabang olahraga yang diminati juga berperngaruh terhadap epncapainan prestasi. Bakat dan motivasi ini menjadi faktor utama kesiapan atltit dalam proses pelatihan.
Atlit merupakan komponen utama kualitas pelatihan. Semakin berkualitas akan semakin terang jalan menuju puncak prestasi. Oleh karena itu, pemeliharaan dan penentuan atltit cabang olahraga yang sesuai dengan minat dan bakat menjadi urusan yang sangat penting. Prdeksi akan bisa dilakukan dengan baik, efektivitas dan efesien pelatihan hendaknya menjadi menjadi pertimbangan bertindak bagi pelatih dana apengurus cabang olahraga. Pemantapan dalam pemasalahan, pembibitan bakat dan pembinaan merupakan langkah yang harus dilalui dan dicermati sebaik-baiknya oleh pelatih agar apa yang akan dilakukan dimasa mendatang tidak sia-sia.
Permasalahan olahraga
Sejak tahun 1983 sudah dicanangkan semboyan “memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat”. Waktu 22 tahun sebenarnya cukup untuk melaksanakan semboyan tersebut. Namun kenyataannya mungkin tidak demikian karena masih digiatkan aktivitas untuk mengajak masyarakat agar jangan sampai kurang gerak sebagai dampak dari kemajuan dunia moderen dengan aktivitas yang serba dipermudah dengan mesin. Indikator dari pembibitan adalah suatu pola suatu yang diterapkan dalam upaya menjaring atlit berbakat ynag diteliti secara ilmiah. Ada beberapa pertimbangan perlunya dilakukan pembibitan untuk mendapatkan bibit-bibit unggul pengolahragaan antara lain :
a.       Atlit berbakat yang dibawa sejak lahir mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam proses pembinaan dan pelatihan dibanding yang tidak berbakat
b.      Pembinaan atlit yang berbakat lebih efektif dan efesien karena memang memiliki kelebihan dibanding yang tidak berbakat
c.       Pembinaan terhadap atlit berbakat memberi peluang untuk berprestasi lebih baik
Adapun karakteritik atlit berbakat adalah sebagai berikut :
d.      Memiliki kualitas bawaan sejak lahir
e.       Memiliki fisik dan mental yang sehat tidak cacat tubuh, diharapkan postur tubuh yang sesuai dengan olahraga yang diminatinya
f.       Memiliki fungsi organ tubuh yang baik seperti jantung, otot, saraf dll
g.      Memiliki kemampuan gerak dasar yang baik seperti, kekuatan, kelincahan, kecepatan, keseimbangan, koordinasi dsb
h.      Memiliki kecerdasan yang baik
i.        Memiliki karakter yang baik seperti watak korapetitif yang tinggi, kemauan keras, tabah, pemberani, bersemangat
j.        Memiliki kegemaran olahraga yang baik
Adapun pencarian atlit dengan bibit unggul ini dilakukan terpadu oleh guru pendidikan jasmani, pelatih, dokter, pakar olahraga, dlsb. Sedang metode yang dilakukan dapat merupa pengamatan, angket dan wawancara dan bahkan memalui ter pengukuran kemampuan fisik dan teknik maupun mental.
Ada beberapa sistem yang perlu diperhatikan dalam pembentukan seorang atlit yaitu: Input – proses – Output + outcome

BAB III

  1. Sistem keolahragaan
Menurut kamus Webster’s Third New International tahun 1971 dalam Bompa (1990:11) disebutkan bahwa sistem adalah suatu pengaturan atau metodik yang disusun dari suatu ide, tiore atau spikulasi. Sistem harus meliputi keseluruhan pengaturan ataupun pengalaman yang terakumululasi dari beberapa hasil penemuan baik dari penelitian murni ataupun terapan. Sebaiknya system dirancang dengan dilatarbelakangi sosial budaya bangsa dan Negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, system Keolahragaan di Indonesia sendiri. Pasal 1 ayat 3 undang-undang system Keolahragaan Nasional tahun 2005 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan system Keolahragaan Nasional adalah keseluruhun asfek keolahragaan yang selalu terkait secara terncana, sistematis, terpadu dan keberlanjutan sebagai satu kesatuan yang meliputi pengaturan, pendidikan, pelatihan, pengelolaan, pembinaan, pengembangan, dan pengawasan untuk mencapai tujuan keolahragaan Nasional. Pasal 4 menegaskan bahwa Keolahragaan Nasional bertujuan memelihara dan meningkatkan kesehatan dan kebugaran, prestasi, kualitas manusia, menanamkan nilai moral dan akhlak mulia, sportivitas, disiplin, mempererat dan membina persatuan dan kesatuan bangsa, meperkukuh ketahanan Nasional serta mengangkat harkat, martabat dan kehormatan bangsa.
Mencermati pengertian di atas, maka paling tidak ada 2 hal pokok yang harus diperhatikan yakni (1) struktur organisasi Keolahragaan dan (2) system pelatihan olahraga. Struktur organisasi Keolahragaan seyogianya merupakan penyelenggraan pembangunan keolahragaan dari tingkat nasional  sampai pada masyarakat sedang system pelatihan olahraga merupakan penyelenggaraan pembinaan olahraga [restasi dari pencarian bibit atlit sampai pencapaian puncak prestasi.
Dikutip dari Bompa, 1990:11
Strutur organisasi hendaknya dapat melayani dari aktivitas oleharaga masyarakat, fundasi kinerja oleharaga, kinerja olahraga yang baik, dan kinerja olahraga tertinggi/juara (lihat gambar 1). Sedang system pelatihan oleharaga baik menyangkut factor yang berhubungan langsung dengan prestasi maupun factor pendukungnya (lihat gambar 6). Gambar 5 menunjukan jenjang pengembangan dan pembangunan olahraga secara bertahap dari aktivitas masyarakat terutama dengan tujuan mencapai derajat kesehatan yang baik. Bermodalkan kesehatan yang baik, maka dibentuklah fundasi prestasi oleh anak-anak (atlit pemula) baik diklub-klub olahraga maupun disekolah dengan mengoptimalkan peran pendidikan jasmani. Atlti ini secara berkesinambungan dibina menjadi atlit Nasional selanjutnyan diharapkan dapat bersaing ditingkat Internasional. System pelatihan olahraga pada dasarnya menghendaki agar pelatihan menghasilkan kinerja yang tinggi, kinerja yang berkualitas.
Untuk mencapai kualitas pelatihan yang tinggi diperlukan berbagai factor, yakni atlit yang bebakat dan memiliki motivasi yang tinggi, pelatih yang memiliki pengetahuan dan berdedikasi dengan pribadi yang baik, fasilitas dan peralatan yang memadai serta adanya kompetensi yang teratur. Kualitas pelatihan ini dapat dilihat pada gambar di atas
Tolak ukur kualitas pelatihan adalah kinerja tertinggi (juara ?) yang dalam proses pelatihannya dipengaruhi oelh banyak factor. Makin baik dan berkualitas factor-faktor yang mempengaruhi proses pelatihan akan semakin cepat mendekati pencapaian kinerja tertinggi.

  1. Factor pelatihan olahraga
Factor pelatihan olahraga terdiri dari fisik, teknik, taktik, mental dan teori yang dipadukan dalam program dalam program pelatihan olahraga factor pelatihan merupakan bagianintrinsik dari program pelatihan tanoa memandang usia atlit, potensi individu maupun tingkat persiapan atau fase pelatihan. Seluruhnya merupakan satu kesatuan meskipun disajikan dalam bentuk yang terpisah.
Sebagaimana dituangkan dalam gambar 1 bahwa persiapan fisik dan teknik menggambarkan dasar kinerja yang akan dibangun. Bila atlet sudah meraih teknik ynag baik berikutnya dititikberatkan pada mental.

1. Persiapan fisik
Persiapan fisik merupakan salah satu pertimbangan yang sangat penting untuk mencpaai kinerja yang tertinggi. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan potensi fungsional atlet dan pengembangan kemapuan dalam upaya standar kinerja yang lebih tinggi. Persiapan fisik dapat dibagi dalam 2 kegiatan yangkni persiapan fisik umum dan persiapan fisik khusus.

2. Pelatihan teknik
               Teknik yang baik sama dengan efesisensi yang tinggi. Teknik merupakan pola geraka khusus pelatihan fisik. Oleh karena itu, pengembangan pelatihan teknik sangattergantungn pada kemampuan fisik. Teknik yang baik akan menghemat penggunaan energi. Perlatihan teknik sangat berkait erat dengan biomekanika
3. Komponen pelatihan olahraga
Berat-ringannya perlatihan ditentukan oleh komponen perlatihan. Komponen perlatihan terdiri dari (1) volume (2) intensitas (3) kepadatan (4) kompleksitas.
4. Volome perlatihan
Volume perlatihan menunjukan adanya kuantitas perlatihan, baik mengenai waktu, jarak maupun beban perlatihan. Volume sebagai unsur yang penting dalam proses perlatihan merupakan cikal bakal yang menghasilkan intensitas. Tinggi rendahnya intensitas ditentukan oleh berat ringannya volume perlatihan. Volume perlatihan untuk olahraga yang menekankan waktu adalah banyaknya waktu yang digunakan dalam perlatihan. Volume perlatihan untuk olahraga yang menekankan jarak adalah jauhnya jarak yang dapat ditempuh atlet. Misalnya, berapa lama atlet harus menyelesaikan tugasnya, berapa banayak jumlah beban yang harus diangkat, atau berapa jauh jarak yang harus ditempuh atlet selama proses perlatihan.
Akhir-akhir ini, perhitungan untuk menentukan volume tidak terbatas pada proses perlatihan (volume mutlak), tetapi juga diperhiutngkan sampai pada tahapan perlatihan (volume nisbi) yakni seberapa volume perlatihan untuk tiap siklus harian, siklus mikro, siklus makro, dan sampai pada volume tahunan. Misalnya, atlet didaerah hanya berlatih 3 kali perminggu, maka untuk atlet tingkat nasional tidak cukup hanya 3 kali perminggu mungkin sampai 6 kali perminggu mungkin sampai 6 kali perminggu bahkan untuk meningkatkan prestasi sampai tingkat internasional mungkin berlatihnya sampai 12 kali perminggunya. Demikian juga misalnya, dengan jumlah beban yang harus ditingkatkan atlet dalam setahun atau jumlah jam perlatihan. Jadi, semakin tinggi prestasi atlet semakin besar atau banyak jumlah volume perlatihan yang harus diselesaikannya.
Volume pelatihan dalam setiap perlatihan tidaklah sama, semakin lama volume perlatihan harus dinaikan secara perlahan-lahan. Kenaikan volume ini harus mengikuti kaidah penyesuaian. Bila dengan volume tertentu atlet sudah memperoleh atau mencapai penyesuaian, maka volume perlatihan berikutnya harus dinaikan atau ditingkatkan. Menurut hare (1982) bahwa volume peningkatan volume pelatihan yang tidak direncanakan dengan baik akan menyebabkan kelelahan, efesiensi perlatihan jadi rendah, kerja otot tidak ekonomis, dan akan meningkatkan kemungkinan terjadinya cidera untuk itu, pengetahuan tentang ilmu faal olahraga hendaknya dimiliki oleh para pelatih.
5. Intensitas perlatihan
Intensitas menujukakan kualitas perlatihan sebagai respon tubuh terhadap beban perlatihan dalam kurun waktu tertentu. Tinggi rendahnya intensitas dipengaruhi oleh besar kecilnya beban, cepat lambatnya melakukan gerakan, atau selang waktu setiap pengulangan gerak gerak. Intensitas juaga melibatkan unsur kejiwaan, meskipun cabang olahraganya tidak banyak menuru kerja fisik, seperti menembak, panahan, dan catur. Derajat intensitas dapat diukur berdasarkan jenis pelatihannya. Untuk perlatihan yang melibatkan kecepatan, maka intensitas diukur dengan meteran perdetik atau rerata permenitdagi gerakan yang dilakukan. Intensitas yang melawan suatu tahanan beban dapat diukur dalam kilogram atau kilogrammeter.
Sedangkan untuk olehraga beregu, irama permainan dapat dijadikan ukuran. Dalam olahraga prestasi yang menganut asa individu, intensitas harus ditentukan secara individu pula. Cara untuk mengukur intensitas perlatihan dapat berdasarkan kemampuan kecepatan dan kekuatan (hare 1982), denyut nadi (bompa, 1990) atau berdasarkan system energi  (Bowers, 1992). Cara sederhana untuk menentukan intensitas perlatihan dilapangan adalah dengan menghitung denyut nadi. Untuk dapat menghitungnya, terlebih dahulu harus diketahui denyut nadi maksimum dan denyut nadi sitirahat. Denyut nadi maksimum dapat dihitung dengan menggunakan rumus, misalnya 220-usia atau 220-usia ± 10 atau 220-usia ± 20. Perhitungan dengan rumus ini kurang tepat untuk olahraga prestasi karena bertentangan dengan usia individu. Cara yang lebih mendekati kebenaran sesuai kemampuan atlet adalah dengan melakukan tes lapangan. Menurut Jassen (1990) tesnya terdiri dari lari perlahan-lahan selama 5 menit, selanjutnya berlari dengan kecepatan maksimal selama 15 menit secara teru menerus tanpa mengurangi laju kecepatannya dan 20 atau 30 detik terakhir dari 15 menit atlet disuruh sprint. Segara setelah itu atlet disuruh menghitung denyut nadi dipergelangan tangan atau leher selama 15 detik dan dikalikan 4 untuk mendapatkan denyut nadi 1 menit.
Cara demikian mempunyai korelasi yang berarti dengan perhitungan denyut nadi setiap hari selama 1 minggu pada waktu bangun tidur pagi sebelum meninggalkan tempat tidur dan sebelum melakukan aktivitas, kemudian dihitung reratanya. Untuk menentukan besarnya intensitas perlatihan dapat dihitung berdasarkan prestasi yang diingini. Olahraga yang bersifat aerobic antara (kekuatan dan kecepatan) sebesar 90% atau lebih dari denyut nadi maksimum (Bowers, 1992). Perhitungan ini terutama digunakan untuk mengembangkan system energi utama pada cabang olahraga tertentu. Pada praktiknya dilapangan, bila daerah perlatihan ini dicapai (aerobic atau anaerobic) selanjutnya, intensitas perlatihan harus diperhatikan selama paling sedikit 30 menit. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh kesesuiaannya (adaptasi) tubuh terhadap beban perlatihan. Dengan demikian, lebih akan meningkatkan kemampuannya (termasuk aplikasi dari asas beban lebih).
Intensitas dan volume perlatihan mempunyai hubungan yang berbanding terbalik. Jika intensitas perlatihan tinggi, maka volomenya harus rendah dan sebaliknya, jika volume perlatihan yang tinggi, maka intensitas harus rendah. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kelelahan yang lebih awal terutama pada tahap atau periodisasi persiapan yang lebih menekankan persiapan fisik . rasio intensitas-volome ini akan berbanding sejalan menjelang tahapan kompotisi puncak atau ada kalanya intensitas siturunkan.
Perlatihan dengan volume yang tinggi akan banyak memerlukan energi, begitu juga kalu intensitas tinggi, sebaliknya, volume perlatihan yang rendah tidak banyak memerlukan energi, begitu juga kalau intensitasnya rendah , jadi, jika intensitas perlatihan tinggi, maka volomenya harus rendah, dan sebaliknya agar atlet jangan cepat mengalami kelelahan.
6. Kepadata perlatihan
Kepadatan menujukan hubugan antara lamayan kerja dan lamanya waktu pemulihan. Proses perlatihan akan dikatakan sangat padat jika lamanya rangsangan yang diberikan kepada atlet secara berulang-ulang dengan intesitas yang tinggi harus diselingi dengan waktu pemulihan yang cukup antara ulangan (asas pemulihan). Jika tidka seimbang perbandingannya, maka atlet akan cepat mengalami kelelahan. Sebaliknya, jika rangsangan yang diberikan dengan intensitas rendah, maka waktu yang dibutuhkan akan pemulihan relative lebih singkat.
Harre (1982) menyarankan bahwa untuk menghadapi rangsangan baru denyut nadi harus diturunkan sampai antara 120-140 denyut permenit. Ia juga menambahkan bahwa perbandingan antara waktu kerja dan pemulihan sebagai berikut, untuk mengembangkan daya tahan, maka kepadatan optimal antara 1 : 0.5 sampai 1:1 (angka pertama menunjukkan waktu kerja dan angka kedua menunjukan waktu sitirahat untuk pemulihan). Jika daya tahan yang akan dikembangkan, maka lakukan intensitas tinggi dengan kepadatan 1:3 samapi 1:6 sedang untuk perlatihan kekuatan maksimum dari persenasi beban dan irama pelaksanaannya. Apakah bebannya bebannya berat atau ringan atau iramanya cepat atau lambat.
Kerumitan menunjukkan pada tingkat kecanggihan perlatihan yang dilakukan. Rumpil dari suatu keterampilan menunjukan gerak dengan tingkat koordinasi yang tinggi memerlukan keterlibatan psikologi (kejiwaan). Keterlibatan ini akan mempengaruhi kerja system organ tubuh misalnya kerja syaraf yang lebih dipac. Kesiapan otot lebih tinggi, juga ketersediaan sistem energi yang siap pakai. Semuanya itu akan merangsang kerja jantung-paru sehingga menyebabkan intensitas perlatihan lebih tinggi antara 20-30 denyut permenitnya (Bompa, 1990).
Rumpilnya suatu pelatihan dapat menimbulkan masalah dalam mempelajarinya. Apalagi jika koordinasi syaraf-otot masih dalam keadaan rendah sehinggda dapat menyebabkan terjadinya cedera otot atau sendi. Untuk itu pelatih dituntut untuk mempunyai kiat yang dapat mempermudah belajar keterampilan pada taraf yang lebih tinggi. Gerak yang sederhada juga dapat menjadi rumpil jika kondisi atlet belum siap untuk menerima jenis gerak yang diberikan. Hal seperti ini yang paling banyak terjadi pada atlet pemula yang ditangani. Oleh pelatih tingakat dasar. Mengapa hal ini sering terjadi ? salah satu jawabannya adalah pelatihan dan perlatihan yang belum berprogram.
7. Susunan perlatihan olahraga
Perlatihan merupakan proses yang paling menetukan dalam upaya encapai prestasi olahraga tertinggi. Kita banyak mendengar bahwa para juara dunia dalam olahraga mejalani proses perlatihan yang cukup lama, ada yang sampai sepuluh tahun. Kita juga mengetahui banyak atlet yang sudah berlatih smapai sepuluh tahun tapi belum juga menjad juara. Pdahal keduanya, baik atlet luar negeri yang menjadi juara maupun atlet kita yang belum menjadi juara sama-sama mulai berlatih sejak dini. Contoh lain misalnya, berapa banyak atlet yang dikirim keluar negeri untuk dilatih oleh pelatih asing. Namun, berapa banyak atlet kita yang dikirim keluar negeri untuk dilatih oleh pelatih asing. Namun, berapa banyak yang membanggakan dan mengharumkan bangsa Indonesia didunia olahraga.
Kebersihan pelatihan olahraga bergantung pada banyak hal, antara lain adalah kualitas pelatih, kualitas atlet, sarana dan prsarana pelatihan, dan dana. Pelatih sebagai seorang dewasa yang matang hendaknya dapat membantu atletnya mencapai kinerja tertinggi. Untuk itu diperlukan pelatih yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap kepemimpinan yang baik. Baik disini berarti membimbing atau medorong atletnya menjadi juara.”juara” dalam hal ini berada dalam tanda petik karena terdapat berbagai tingkatan, misalnya tingkat kabupaten, propinsi, nasional, atau Internasional. Juara yang dihasilkan dari tingkat kabupaten, maka standar kemampuan pelatih pun cukup sampai tingkat kabupaten saja. Artinya, pelatih tidak akan mampu lagi melatih atletnya menjadi juara dunia, maka standar kemampuan pelatih harus setingkat pelatih bertaraf internasional. Dengn demikian, barulah prestasi olahraga Indonesia  dapat mendunia. Perlatihan sebagai proses yang menunjukkan kemampuan pelatih dilapangan, memerlukan kiat tersendiri dari setiap pelatih. Meskipun demikian, ada kaidah yang harus ditaati oleh setiap pelatih dalam menyusun perlatihan. Susunan perlatihan sebagaimana disarankan Bompa (1990) berbeda perlatihannyauntuk atlet pemula dan atlet lanjutan. Untuk atlet pemula susunan perlatihan terdiri dari (1) pendahuluan (2) pemanasan (3) bagian utama yang lazim disebut perlatihan inti (4) pendinginan. Sedang untuk atlet lanjutan (1) pendahuluan dan pemanasan (2) perlatihan inti (3) pendinginan. Pada prisnsipnya, kedua susunan perlatihan itu tidak berbeda. Untuk atlet pemula dimulai dengan pendahuluan yang masudnya adalah memberi penjelasan agar atlet memahami dan mengerti betul tujuan yang ingin dicapai selama proses perlatihan. Sedang untuk atlet lanjutan hal tersebut sudah dipahami, disadari dan dihayati dengan baik. Oleh karena itu, pada atlet lanjutan, pendahuluan dapat langusng digabung dengan pemanasan. Contoh susunan perlatihan untuk perlatihan selama 120 menit adalah
-   Pendahuluan       : 5 menit
-   Pemanasan          : 30 menit
-   Perlatihan inti     : 75 menit
-   Pendinginan        : 10 menit

-     Pendahuluan & pemanasan  : 25-30 menit
-     Perlatihan inti                       : 85-75 menit
-     Pendinginan                         : 10 menit

Total                    : 120 menit
Total                                      : 120 menit

A. Pendahuluan
Waktu untuk kegiatan pendahuluan keurang lebih lima menit. Kegiatan yang dilakukan berupa penjelasan dari pelatih kepada atlet tentang tujuan yang hendak dicapai dalam proses perlatihan dan cara mencapai tujuan tersebut. Pada kesempatan itu harus berusaha membangkitkan atau meningkatkan motivasi atlet dalam mencapai tujuan dimaksud.
Hal juga penting dalam pendahuluan adalah meyakinkan atlet bahwa pelatih memiliki kemampuan untuk membantu atlet dalam proses perlatihan. Caranya bukanlah hanya dengan kata-kata, tetapi harus dengan sikap, perbuatan, keterampilan dan kepemimpinannya. Terhadap atlet pemula, sosok pelatih merupakan idola dan panutan. Sedang pada atlet lanjutan, kemampuan menganalisis proses dan hasil perlatihan akan sangat membantu meyakinkan atlet akan kepiawaian si pelatih.
B. Pemanasan
Tujuan utama pemanasan adalah menghindari kemungkinan terjadinya cedera. Kegiatan pemanasan menurut Fok (1980) terdiri dari (1) peregangan (2) kalistenik (3) aktivitas formal. Pemanasan ini oleh Bompa (1990) dibaginya dalam 2 golongan, yaitu pemanasan umum dan pemanasan khusus. Ditinjau dari kegiatan dan tujuan pemanasan, peregangan dan kalistenik termasuk ke dalam pemanasan umum, sedang aktivitas formal termasuk ke dalam pemanasan khusus. Pemanasan dimulai dengan gerak tubuh berintensitas rendah yang ditingkatkan secara perlahan-lahan. Peningkatan intensitas secara bertahap ini akan mempercepat dan memperlancar proses metabolism tubuh. Lancarnya metabolism tubuh akan meningkatkan aliran darah ke otot-otot yang sedang aktif bekerja, meningkatkan suhu tubuh dan merangsang pusat pernapasan. Kesemuanya akan meningkatkan potensi kerja tubuh. Peningkatan potensi kerja tubuh ini menajadikan tubuh dapat bersesuai dengan bahan yang bakal diterima sebagai akibat dari peningkatan intensitas kerja secara bertahap tadi. Dengan demikian, kinerja akan lebih efektif dan tubuh dapat terhindar (mengurangi) resiko cedera.
Contoh pemanasan umum (peregangan dankalistenik) diantaranya melakukan gerakan peregangan pasif, yakni meentangkan kedua lengan sejajar bahu yang dipertahankan selama dua puluh detik. Peregangan pasif ini lebih banyak ditunjukkan pada persnedian dan otot. Selanjutnya dilakukan yang dinamis seperti loncat buka tutup kaki sambil bertepuk tangan di atas kepala. Otot dan sendi yang hendaknya yang akan banyak dipakai dalam materi perlatihan inti. Pemanasan khusus ( aktivitas formal) dimaksudkan untuk mempersiapkan tubuh menghadapi pelatihan inti, oleh karena itu gerakan yang dilakukan sedapat mungkin mendekati dalam perlatihan inti. Misalnya, andaikan pelatihan inti adalah tendangan, maka gerak formal sebaiknya dilakukan dengan menggunakan target (sasaran tendangan). Tujuan utama damal pemanasan khusus ini adalah menyiapkan kondisi atlet (otot syaraf) untuk jenis kerja utama yang dilakukan Selma perlatihan inti.
C. Perlatihan inti
Waktu yang digunakan selama proses perlatihan inti kurang lebih dua pertiga dari seluruh waktu perlatihan. Waktu yang lama ini harus diataur penggunaannya agar efektif dan efesien dan bagian inilah yang menentukan keberhasilan perlatihan seperti telah disebutkan terdahulu, berapa banyak atlet yang berlatih selam sepuluh tahun dan berhasil menjadi juara. Semua ini sangat bergantung pada pengelolaan perlatihan inti. Isis dari perlatihan inti bergantung pada beberapa faktor antara lain:
- Tingkat keterlatihan atlet
- Jenis olahraga
- Jenis kelamin
- Usia
- Tahapan perlatihan
Kegiatan dalam perlatihan inti terdiri dari:
- Mempelajari unsur teknik dan taktik
- Mengembangkan kecepatan dan koordinasi
- Mengembangkan kekuatan
- Mengembangkan daya tahan
Didalam perlatihan inti, kaidah yang terkandung dalam unsur dan komponen perlatihan harus dpaat diterapkan secara betul. Secara faal, belajar elemen teknik dan taktik hendaknya pada awal dari bagian inti. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa belajar (keterampilan akan lebih efektif jika syaraf dan otot dalam keadaan belum lelah.
Seandainya syaraf dan otot dalam keadaan lelah, maka belajar elemen teknik dan taktik akan terganggu karena syaraf dan otot sudah tidak kontrol lagi. Misalnya, lengan kita dalam keadan lelah, apakah kita dapat memukul bola dengan keras dan terarah. Kalau kaki sudah mengalami kelelahan, apakah tendangan akan dapat diarahkan kegawang lawan. Oleh karena itu, belajar elemen teknik dan taktik dilaksanakan sebelum tubuh mengalami kelelahan. Sebab bila tubuh sudah mengalami kelelahan, maka kemampuan syaraf otot dalam menjawab rangsangan yang datang akan mengalami ganguansehingga belajar elemen teknik dan taktik tidak akan pernah dikuasai dengan sempurna.
Bagian akhir perlatihan inti, kurang lebih 15-20 menit dapat diisi dengan latihan kondisi khusus. Perlatihan ini lebih menekankan pada materi persiapa fisik terutama untuk menunjang percepatan penguasaan keterampilan teknik, baik ang sudah dipelajari atau yang akan dipelajari pada perlatihan berikutnya.
D. Pendinginan
Tujuan yang ingin dicapai dengan aktivitas pendinginan adlah bahwa kondisi atlet secepat dan semaksimal mungkin kembali ke kondisi normal, yakni tidak kelelahan. Umumnya atlet sehabis perlatihan mengalami kelelahan. Kelelahan inilah yang sedapat mungkin harus dihilangkan dalam proses pendinginan.
Perlatihan dengan segala tekanan bebannya, baik fisik maupun mental akan dapat menyebabkan kelelahan fisik dan mental. Kelelahan fisik yang sederhana misalnya, disebabkan oleh penumpukan asam laktat dalam otot dna darah. Penumpukan asam laktat ini disebabkan oleh intensitas perlatihan yang tinggi. Intensitas perlatihan yang tinggi menentukan tersedianya energi yang dapat memenuhi kebutuhan kerja tubuh untuk aktivitas perlatihan tersebut. Oleh karena energi yang dibutuhkan tidak dapat dipenuhi oleh sistem energi, maka tubuh akan mengalami kekurangan energi. Dalam peristiwa ini, oksigen yang dibutuhkan metabolisme tubuh untuk menghasilakan energi tidak mencukupi. Misalnya atlet terlihat sudah bernapas dengan terengah-engah. Kekurangan oksigen ini akan meyebabkan sumber energi (glokosa) dipecahkan menjadi asam laktat yang seandainya cukup oksigen akan mejadi asam piruvat. Penumpukan asam lakta inilah yang menjadi salah penyebab terjadinya gangguan kerja otot sehingga menyebabkan kelelahan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, untuk dapat menghilangkan kelelahan atlet boleh berhenti secara mendadak sehabis perlatihan. Atlet harus melakukan aktivitas ringan secara aerobic. Dengan aktivitas ini, bila oksigen yang pada waktu perlatihan inti mengalami kekurangan akan dapat dipenuhi kembali pada waktu pendinginan (pemulihan), maka asam laktat yang tadinya menumpuk secara perlahan-lahan aka berkurang. Dengan demikian, asam laktat yang tadinya menumpuk secara perlahan-lahan akan kembali sehingga dapat menjadi bagian dari sumber energi. Proses ini dalam metbolisme disebut Siklus Cori. Oeleh karena itu, pendinginan harus dilakukan secara aktif. Dalam hal ini, aktivitasnya merupakan kelaikan dari aktivitas pemanasan, yaitu (1) aktivitas formal (2) kalestenik (3) pereganga.
Pada kenyataannya pendinginan ini banyak diabaikan oleh pelatih dan atlet. Misalnya, banyak atlet yang sehabis berlatih langsung istirahat minimum dan berganti pakaian. Banyak pula atlet sehabis pertandingan langsung pulang, apalagi jika kalah. Hal demikian, sangat bertentangan dengan kaidah perlatihan yang terdiri dari (1) pemanasan (2) perlatihan Inti (3) pendinginan. Oleh karena itu, banyak atlet yang belum pulih kondisinya pada waktu perlatihan hari berikutnya atau pada waktu pendinginan berikutnya. Sehingga sering kita denga keluhan badan yang masih terasa sakit atau pegal-pegal. Hal ini sangat mempengaruhi kinerja atlet dan berakibat turunnya prestasi atlet.

 Semoga Artikel Ini Bermamfaat, Syukuran Jazakallah Khairan@


Read More